Fenomena Krisis Pemimpin dan Matinya Demokrasi dalam Belenggu Oligarki
Tsabangnews.com,_Fenomena Krisis Kepemimpinan saat ini menjadi sebuah topik perbincangan hangat bagi para praktisi dan masyarakat. dimana fenomena ini sudah mulai nyata dirasakan dalam suatu komunitas, perkumpulan, organisasi, wilayah, daerah bahkan dalam tatanan pemerintahan.
Sulitnya menemukan sosok pemimpin yang ideal dalam sebuah kelompok dan perkumpulan akan menimbulkan arah kebijakan yang tidak berkeadilan serta cenderung mendapat penolakan bahkan pertentangan dan berujung dengan perpecahan.
Fenomena sendiri ditafsirkan sebagai gambaran sebuah kondisi yang merujuk kepada peristiwa atau kejadian yang dapat dirasakan dan diamati dengan jelas.
Berdasarkan makna, Fenomena (bahasa Yunani: φαινόμενον, translit. phainómenon, har. ‘hal yang dapat disaksikan dengan pancaindera’; jamak phenomena) adalah suatu fakta atau peristiwa yang dapat diamati. Istilah ini mulai digunakan dalam filsafat modern oleh Immanuel Kant, yang membedakannya dengan noumena (sesuatu yang tidak dapat diamati secara langsung) .
Sementara Krisis (dari bahasa Yunani κρίσις – krisis; bentuk kata sifat: “kritis”) atau kemelut adalah setiap peristiwa yang sedang terjadi (atau diperkirakan) mengarah pada situasi tidak stabil dan berbahaya yang memengaruhi individu, kelompok, komunitas, atau seluruh masyarakat.
Krisis juga dianggap membawa sebuah perubahan negatif dalam urusan keamanan, sosial, atau lingkungan, terutama ketika krisis terjadi tiba-tiba, dengan sedikit atau tanpa peringatan. Lebih jauh, krisis adalah istilah yang berarti “waktu pengujian” atau “peristiwa darurat”.
Secara umum, krisis adalah situasi sistem yang kompleks (baik sistem keluarga, ekonomi, masyarakat) yang mana ketika berfungsi dengan buruk, keputusan segera diambil, namun penyebab hal tersebut tidak segera diidentifikasi.
Sedangkan kepemimpinan berasal dari kata pimpin, mempunyai awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan sifat yang dimiliki oleh pemimpin itu.
Kata pimpin sendiri mengandung pengertian mengarahkan, membina, atau mengatur, menuntun, dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi. Menurut Dubin dalam Fieldler dan Chemers (1974), kepemimpinan adalah aktivitas para pemegang kekuasaan dan pembuat keputusan.
Sementara Demokrasi atau kerakyatan adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Demokrasi mengizinkan warga negara ikut serta (baik secara langsung atau melalui perwakilan) dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.
Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, adat dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Kata ini berasal dari bahasa Yunani Kuno δημοκρατία (dēmokratía) “kekuasaan rakyat”, yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) “rakyat” dan κράτος (kratos) “kekuatan” atau “kekuasaan”.
Namun Oligarki adalah bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang. Orang-orang ini mungkin atau mungkin tidak dibedakan oleh satu atau beberapa karakteristik, seperti bangsawan, ketenaran, kekayaan, pendidikan, atau kontrol perusahaan, agama, politik, atau militer.
Sepanjang sejarah, oligarki sering bersifat tirani, mengandalkan kepatuhan atau penindasan publik untuk eksis. Aristoteles mempelopori penggunaan istilah sebagai aturan yang berarti oleh orang kaya, yang istilah lain yang umum digunakan saat ini adalah plutokrasi.
Pada awal abad ke-20 Robert Michels mengembangkan teori bahwa demokrasi, seperti semua organisasi besar, cenderung berubah menjadi oligarki.
Dalam “hukum besi oligarki” dia menyarankan bahwa pembagian kerja yang diperlukan dalam organisasi besar mengarah pada pembentukan kelas penguasa yang sebagian besar peduli dengan melindungi kekuasaan mereka sendiri.
Menurut pandangan Karl Marx sedikit banyak dapat menjelaskan bahwa kapital ekonomi memainkan peran penting dan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial.
Artinya mereka yang merupakan bagian dari elite oligarki akan menggunakan kekayaannya untuk memengaruhi kebijakan publik dan dinamika politik untuk mempertahankan sumber kekayaan mereka. Maka akan sangat sulit mewujudkan demokrasi yang berkeadilan dan berorientasi pada kepentingan rakyat bila sistem oligarki masih tetap dipertahankan.
Dari beberapa penjelasan diatas bahwa dapat disimpulkan sangat kuat kaitannya dengan apa yang sedang terjadi pada saat ini. Mematikan tatanan demokrasi merupakan sebuah bentuk nyata ancaman dari oligarki dalam menjaga pengaruh dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Kesulitan dalam mencari sosok pemimpin ideal yang disebabkan matinya sistem demokrasi akan melahirkan tatanan Aristokrasi, Plutokrasi, Kleptokrasi, dan nepotisme, untuk menuju dinasti politik demi menjaga kepentingan oligarki.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan