Opini

Oleh : Martono

Fenomena kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi isu yang semakin hangat diperbincangkan di Indonesia. Kotak kosong muncul ketika hanya ada satu pasangan calon yang maju dalam Pilkada, memaksa pemilih untuk memilih antara pasangan calon tunggal tersebut atau kotak kosong.

Fenomena ini tidak hanya menantang proses demokrasi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai kualitas partisipasi politik dan keberlanjutan demokrasi di Indonesia.

Fenomena kotak kosong bukanlah hal baru dalam politik Indonesia, tetapi tren ini semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Mengutip Tempo.co dalam Penyebab Munculnya Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong di Pilkada yang tayang Senin 26 Agustus 2024, pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menyebut pilkada dengan paslon tunggal terjadi pada pilkada 2015 dengan tiga wilayah dari 269 daerah yang menggelar pemilu.

Jumlah itu bertambah pada pilkada serentak 2017 dengan 9 dari 101 daerah. Di pilkada 2018, jumlahnya kian meningkat sebanyak 16 dari 170 daerah. Kala itu hanya di Kota Makassar di mana calon tunggal kalah oleh kotak kosong. Sementara pada pilkada 2020, terdapat 25 paslon tunggal dari total 270 daerah, dan semuanya berhasil menang.

“Dari 2015 sampai 2020, hanya ada satu calon tunggal yang kalah. Sebanyak 52 calon tunggal lainnya berhasil menang. Ini menunjukkan tingkat kemenangan yang luar biasa,” ungkap Titi dalam sebuah webinar pada Minggu, 4 Agustus 2024.

Lonjakan ini memicu diskusi mengenai berbagai faktor yang mendorong munculnya kotak kosong, seperti kuatnya dominasi politik oleh petahana, lemahnya oposisi, serta proses penjaringan calon yang kurang kompetitif.

Beberapa pihak berpendapat bahwa dominasi politik oleh petahana membuat calon lain enggan maju karena minimnya peluang untuk menang. Hal ini diperparah oleh sistem politik yang terkadang memfasilitasi praktik-praktik yang tidak sehat, seperti politik uang atau penyalahgunaan kekuasaan, yang semakin mengikis semangat demokrasi.

Kotak kosong dalam Pilkada memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas demokrasi. Pertama, kotak kosong mengurangi alternatif pilihan bagi pemilih, yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas kepemimpinan yang dihasilkan dari proses demokrasi tersebut.

Tanpa adanya kompetisi yang sehat, sulit untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar merupakan pilihan terbaik bagi masyarakat. Kedua, fenomena ini juga mencerminkan masalah dalam sistem politik Indonesia, di mana partisipasi politik menjadi terbatas dan kurang inklusif.

Ketika hanya ada satu calon yang maju, masyarakat seringkali merasa pilihan mereka terbatas dan tidak berarti, yang pada akhirnya bisa menurunkan partisipasi pemilih. Hal ini mengancam prinsip dasar demokrasi yang mengedepankan partisipasi aktif dan kompetisi yang sehat.

Di tengah meningkatnya fenomena kotak kosong, peran pers menjadi sangat krusial dalam mengawal proses demokrasi dan penegakan hukum. Pers memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi yang akurat dan objektif kepada publik mengenai situasi politik di daerah-daerah yang menghadapi kotak kosong.

Lebih dari sekadar melaporkan fakta, pers harus mampu mengungkap penyebab mendalam dari fenomena ini, termasuk potensi pelanggaran hukum dan etika dalam proses Pilkada. Pers juga memiliki peran penting dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas dari para penyelenggara pemilu dan para calon.

Dengan menyuarakan suara masyarakat yang kritis dan memberikan platform bagi berbagai pihak untuk menyampaikan pandangannya, pers dapat membantu menciptakan ruang diskusi yang sehat dan produktif.

Selain itu, pers harus aktif mengawasi proses hukum yang berkaitan dengan Pilkada, khususnya dalam menangani potensi pelanggaran yang mungkin terjadi akibat kotak kosong.

Dalam beberapa kasus, keputusan untuk maju sebagai calon tunggal sering kali dibayangi oleh dugaan-dugaan kecurangan, seperti adanya intimidasi terhadap calon lain atau manipulasi proses seleksi calon.

Di sini, pers harus memastikan bahwa proses hukum berjalan adil dan transparan, serta mengawal agar pihak-pihak yang melanggar hukum mendapatkan sanksi yang setimpal.

Tidak kalah penting, pers juga harus berperan dalam edukasi politik bagi masyarakat. Dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang hak-hak mereka dalam proses demokrasi, pers dapat mendorong partisipasi politik yang lebih aktif dan kritis.

Edukasi politik ini penting untuk memastikan bahwa masyarakat tidak hanya menjadi penonton pasif dalam Pilkada, tetapi juga menjadi aktor yang berdaya dalam menentukan masa depan daerahnya.

Pers harus mampu menyajikan informasi yang mudah dipahami dan relevan bagi berbagai lapisan masyarakat. Dalam konteks kotak kosong, pers bisa menjelaskan secara detail apa yang sebenarnya terjadi, dampaknya bagi masyarakat, dan apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk tetap berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi.

Fenomena kotak kosong dalam Pilkada merupakan tantangan besar bagi demokrasi di Indonesia. Namun, dengan peran pers yang kuat dan independen, tantangan ini dapat diatasi dengan cara mengawal proses demokrasi dan penegakan hukum secara ketat.

Pers harus terus berperan sebagai pengawas dan pendidik bagi masyarakat, memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang adil untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi yang sehat dan transparan. Dengan begitu, meski menghadapi fenomena kotak kosong, semangat demokrasi di Indonesia tetap dapat terjaga dan berkembang.

 

Martono

(Redaktur Pelaksana suarabahana.com)